Persahabatanku dengan Feris begitu dekatnya dan secara kebetulan kami juga punya pengalaman pernah berhubungan intim dengan Tante Yanti, Bibi Feris sendiri. Disini kubuka ceritaku dengan pengalaman Feris terlebih dulu.
Sewaktu keluarga Tante Yanti pindah dari Yogya ke Jakarta, Feris keponakannya ikut dibawa untuk bersekolah di Jakarta dan di situlah aku mulanya bergaul akrab dengan Feris. Hubungan intim antara Feris dengan tantenya, berawal sejak mereka masih sama-sama di Yogya. Dari situ berlanjut secara rahasia sampai kemudian dengan alasan ingin bersekolah di Jakarta, Feris kemudian ikut dengan keluarga Tante Yanti. Dan cerita bagaimana hubungan itu terjadi yaitu ketika Feris yang meningkat remaja selalu datang ke rumah tantenya karena sekolahnya kebetulan jaraknya dekat dengan rumah tantenya itu. Dia masih tinggal bersama orang tuanya tapi lama-lama mulai sering menginap di rumah Tante Yanti di mana dia juga diberi kamar tersendiri oleh tantenya itu. Feris senang di situ karena selain tantenya, Paman Budi suami Yanti juga menyayanginya sebagai anaknya sendiri.
Suatu kali suami Yanti mendapat tugas belajar selama dua bulan oleh perusahaannya di kota lain dan hari itu sudah genap sebulan Tante Yanti ditinggal oleh suaminya dengan ditemani Feris yang kalau malam akan datang menginap di rumahnya. Entah kebetulan atau apa namanya, malam itu Tante Yanti ke luar kamarnya untuk pergi kencing, dia masuk kamar mandi menabrak Feris yang baru akan ke luar dari situ. Dia rupanya juga baru habis kencing tapi tidak menyalakan lampu dan sedang akan menutup celananya ketika itu. Tante Yanti kaget tapi segera mengenali Feris.
“Astaga, Tante kira siapa.. kok nggak nyalain lampu sih?” tegur Tante Yanti sambil langsung menghidupkan lampu kamar mandi.
Begitu susana jadi terang langsung terlihat Feris tersipu-sipu malu sedang kerepotan buru-buru akan menutup celananya. Tante Yanti jadi geli dan terbit isengnya ingin menggoda Feris.
“Lho apa tuh, kok buru-buru mau disembunyiin.” katanya sambil menggoda malah melorotkan celana Feris.
Tentu saja Feris tambah merah mukanya tapi Tante Yanti juga tambah senang mencandainya. Tidak tanggung-tanggung malah dijulurkan tangannya ke penis Feris.
“Ayo kok malu-malu banget sama Tante, coba sini Tante pegang biar sekalian ilang malunya,” langsung disambar batang itu membuat Feris tidak bisa mengelak lagi.
“Sekarang Tante mau tanya, memangnya inimu udah bisa kenceng sih? Kalo udah bisa kenceng baru boleh malu sama Tante,” lanjutnya tapi genggaman tangannya dimainkan penis itu.
Feris yang baru berusia 15 tahun ketika itu hanya mengangguk dengan wajah masih merah malu, dia terpaksa diam saja dipermainkan oleh tantenya. Dijawab begini Tante Yanti jadi pasang muka heran tidak percaya. “Ah masak sih.. Tapi kamu tungguin Tante kencing sebentar, jangan kemana-mana ya?” kata Tante Yanti melepas tangannya dan dia pun kencing sementara ditunggui Feris yang patuh tidak beranjak dari situ.
Keluar dari kamar mandi dengan menarik lengan Feris, Tante Yanti mengajak ke kamar tidur Feris sendiri karena penasaran ingin membuktikan jawaban Feris tadi. Begitu masuk dan mengunci pintu dia langsung berbalik untuk membawa anak muda itu berdiri di hadapannya sementara Tante Yanti sendiri duduk di tepi tempat tidur.
“Coba buka dulu celananya, Tante pengen buktiin sendiri.” Feris menurut saja dan sebentar kemudian penisnya sudah dimainkan tantenya, dilocok-locok untuk membuat jadi menegang. Dan ternyata seperti yang tadi dijawab Feris, penis anak muda ini rupanya bisa menegang bahkan bangun dengan cepat sekali di dalam genggaman tangan Tante Yanti. Begitu terpandang penis tegang dengan ukurannya yang lumayan besar ini, mata Tante Yanti langsung bersinar kagum tapi seiring dengan itu mendadak timbul hasrat berahinya membayangkan asyiknya jika bisa dipuasi batang muda ini. Maklum, karena bersamaan saat itu suaminya sudah cukup lama pergi sehingga Tante Yanti yang sedang kesepian dan dalam iseng-iseng seperti ini cepat sekali naik rasa kepinginnya. Apalagi penis muda ini sudah langsung menampilkan bentuk keras kakunya berbeda sekali dengan milik suaminya yang sudah mulai ogah-ogahan untuk dibuat kencang.
“Wihh Ferr.. punyamu rupanya betul-betul bisa bangun.. Tante kagum deh, abisnya hebat sih.”
“Hebat kenapa Tante?” tanya Feris yang masih polos, sudah mulai keluar suaranya.
“Iya, punyamu mantep gedenya mau ngalah-ngalahin Paman punya.” jawab Tante Yanti membesarkan hati Feris meskipun sebenarnya hampir seukuran milik suaminya.
“Emang kenapa kalo gitu?” tanya lagi Feris masih tetap belum mengerti.
“Yang gini malah enak kalo dipake ke orang perempuan. Tapi, ayo tidur aja sambil Tante temenin sebentar, soalnya masih kepengen pegang-pegangin punyamu.”
Tante Yanti mematikan lampu dan mengajak Feris untuk mulai tidur, hanya saja jelas sulit bagi Feris karena penisnya masih tetap dipermainkan remasan tangan tantenya. Tapi sementara itu Yanti lebih sulit lagi. Memegang-megang penis keras begini dalam suasana gelap gulita khayalannya yang melayang membayangkan nikmatnya bersetubuh dengan penis ini membuat dia semakin gelisah. Kepingin tapi juga ragu-ragu mengajaknya karena masih ada rasa malu dalam hatinya untuk merayu keponakan yang masih polos ini. Tetapi, makin ditekan perasaan itu makin menuntut juga berahinya yang sedang kesepian untuk dapat penyaluran. Ada beberapa lama perasaannya bertarung antara kebutuhan dan ketidakpantasan tapi akhirnya Tante Yanti menyerah pada tuntutan nafsunya.
“Ini kok nggak lemes-lemes sih barangnya?” tanyanya mulai memancing.
“Abis Tante mainin gitu terus sih..”
“Ngg.. mau Tante bikinin supaya lemesnya nanti kerasa enak?” dia mulai berlanjut.
Feris menggangguk meskipun belum paham betul.
“Tapi kalo Tante bikinin, Feris jangan sekali-sekali cerita siapa-siapa, ya?” kata Tante Yanti sambil membuka celana dalamnya sendiri, “Ayo, kamu naik ke sini nanti Tante yang ajarin.” lanjutnya mengajak Feris segera setelah dia menyisipkan celana dalamnya ke bawah bantal.
Feris yang masih hijau dan belum mengerti apa-apa tentu saja langsung mengiyakan pesan Tante Yanti dan cepat mengikuti ajakan itu meskipun hatinya berdebaran tegang. Berpindah dia menaiki tubuh Tante Yanti dalam posisi untuk menindih tapi tidak menempel sesuai instruksi Tante Yanti yang masih mengatur cara untuk memulai sanggama ini. Di situ sementara Feris di atasnya masih bertahan merenggang bertumpu pada kedua siku lengan dan lututnya, kedua tangan Tante Yanti terjulur ke bawah mempersiapkan pertemuan dua kemaluan. Dengan sekedar menyingkap ke atas gaun tidurnya membebaskan vaginanya, sebelah tangannya memegang penis Feris dan kemudian menempelkan ujungnya di mulut vagina yang sudah dikuakkan dengan jari-jari sebelah tangannya lagi. Yanti sendiri sudah gemetaran diburu keinginannya tapi belum langsung mulai, dia masih menggosok-gosokkan kepala batang Feris di klitoris dan mulut lubang untuk merangsang cairan vaginanya lebih banyak keluar. Sambil begitu, senang dia memperhatikan air muka Feris menegang terbingung-bingung dengan apa yang sedang dialaminya. Sampai setelah merasa cukup waktunya dia pun menyesapkan kepala batang itu dengan meminta Feris menekan sedikit. Ini diikuti Feris dan begitu mulai terjepit segera kedua tangan Yanti dicabut untuk dipindahkan mengatur gerak Feris memasukan batangnya. Kali ini yang sebelah memegang pantat atas Feris untuk isyarat menekan sedang yang sebelah memegang pinggul untuk isyarat menarik.
“Ikutin Tante, ya?” katanya memberi tanda untuk mulai. Begitu, dengan dipandu kedua tangan Tante Yanti gerak tarik tusuk batang Feris dimulai pelan sementara Tante Yanti sendiri mengimbangi dengan memutar-mutar vaginanya agar usaha memasukan penis menjadi lancar. Dia perlu membantu dulu karena Feris masih terlalu polos sehingga kuatir langsung main sekali tusuk membuatnya perih. Ternyata mulus saja karena sebentar kemudian seluruh panjang batang itu sudah tenggelam habis. Yanti baru mengendor dan menarik tubuh Feris bisa menindih penuh, hanya bagian kepala masih merenggang memandangi Tante Yanti tetap terbingung-bingung tegang.
“Udah masuk semua punyamu Fer, gimana rasanya diginiin, enak nggak?” goda Tante Yanti.
Feris hanya bisa mengangguk dengan mulut serasa penuh sulit untuk bicara, Tante Yanti jadi tersenyum geli.
“Ayo deh, sekarang kamu bisa mainin pelan-pelan rasain enaknya..” kata Tante Yanti dengan menarik kepala Feris mendekapnya sayang pipi bertemu pipi.
Meskipun belum mengerti penuh tapi Feris mulai bergerak mengikuti nalurinya. Penisnya dimainkan tarik tusuk menggesek di jepitan vagina, sementara Yanti sendiri sudah menenggelamkan diri untuk menikmati asyik yang didapat dari sodokan-sodokan penis untuk menyalurkan tuntutan kerinduan berahinya. Matanya dipejamkan meresap asyik dengan ikut memutar vaginanya menambah rasa gesekan dengan kilikan enak di dalam rahimnya.
Sanggama memang tidak memerlukan pelatihan khusus sebelumnya, karena naluri akan membawa si pemula akan jadi bisa dengan sendirinya. Feris yang meskipun baru kali inipun begitu juga. Rasa enak yang didapat waktu dia baru mulai pelan-pelan menggesek penisnya meningkat penasaran untuk menambah lebih banyak lagi. Semakin dipercepat gerak memompa semakin enak yang dirasakannya. Penisnya seperti dilocok-locok dan dipijit-pijit oleh jepitan vagina begitu mengasyikkan sekali, ini tidak hanya oleh gesekan tarik tusuk saja tapi juga dibantu putaran kocokan vagina Yanti. Satu-satunya kekurangan Feris saat itu adalah dia belum berpengalaman untuk mengatur emosinya tapi tentu saja ini sudah diantipasi Yanti. Apalagi Yanti sedang dituntut berahinya sehingga dengan berkonsentrasi sebentar Yanti tidak ketinggalan dari Feris. Dia tiba bersamaan dengan Feris di akhir permainan. “Hhoohgh..” Yanti mengerang mencapai orgasmenya bersamaan dengan Feris berejakulasi.
Tidak seperti biasanya dengan suaminya di mana Tante Yanti berorgasme dalam gaya ekstasi yang merintih dan menggeliat-geliat seperti terlupa segala-galanya, kali ini kecuali mengejang-ngejang menahan suara, Tante Yanti seperti menunggu momen indah yang tidak ingin dilewatkannya yaitu melihat saat pertama jejaka ini berejakulasi. Di atas dilihatnya mimik muka Feris diam tegang dengan mulut setengah menganga kaku mengernyit-ngernyit alisnya dengan mata sayu ketika untuk pertama kali dia menyalurkan kejantanannya, tapi di dalam jepitan vagina dirasakannya penis Feris mengamuk menyentak-nyentak menyemprotkan cairan mani seolah dipompa keluar lewat kejutan perutnya. Semburan deras yang kalau batang dicabut mungkin bisa mencapai jarak 3 meter itu, sekarang dinikmati Yanti sambil dia juga mengejang berorgasme, momen ini dirasakannya begitu indah mengasyikkan sekali karena terasa begitu lama dan panjang temponya. Tenang dan tidak histeris gayanya tapi justru kesannya lebih menyenangkan. Dan dalam keadaan seperti itu muncul sayang yang lebih besar kepada Feris yang langsung diusap-usap dan dibelai-belai mesra wajah serta rambutnya dari saat berorgasme sampai dengan kejutan-kejutan melemah untuk kemudian berhenti dengan nafas tersengal-sengal. Nah, kesan indah inilah yang membuat keduanya melanjutkan permainan terlarang secara rahasia sampai kemudian Yanti membuat hubungan baru denganku.
Sebetulnya cerita pengalaman Feris kepadaku bukan diceritakan oleh dia sendiri kepadaku justru kudengar dari Tante Yanti sendiri. Kenapa bisa begitu? Ini tidak lain karena aku berikutnya juga mengambil bagian meniduri Tante Yanti sehingga dia jadi akrab kepadaku. Tentu, bukan aku yang memulai lebih dulu melainkan Tante Yanti yang membujuk dalam usahanya menutup mulutku karena aku dilihatnya mulai mencurigai adanya hubungan gelap antara dia dengan Feris. Mulanya aku sering dibawa Feris bertandang ke rumah tantenya dan karena sudah kenal akrab aku juga sering datang sendiri mencari Feris yang kutahu pasti ada di situ. Tadinya biasa-biasa saja tapi lama-lama aku mulai mencurigai bahwa Feris tentu punya hubungan istimewa dengan tantenya ini karena kulihat cara keduanya begitu mesra berbeda antara hubungan tante dengan keponakannya. Malah sekali pernah kupergoki Tante Yanti keluar dari kamar bersamaan dengan Feris dalam kedaan kusut seperti habis bergelut, tapi tentu saja aku pura-pura tidak tahu karena tidak etis menanyakan secara mendetail kepadanya. Feris sendiri sudah merasa bahwa aku mencurigai adanya hubungan gelap itu hanya jelas dia juga berusaha menyembunyikannya kepadaku.
Akan tetapi kalau Feris tetap menutup mulutnya kepadaku sesuai pesan tantenya, tidak demikian dengan Tante Yanti sendiri. Sadar bahwa aku bisa berbahaya kalau tidak diajak kerja sama, dia pun menyusun siasat untuk menjebakku. Waktu itu Feris sudah kembali ke Yogya setamat SMA untuk melanjutkan kuliah di kotanya sendiri.
Suatu ketika rumahnya sedang kosong cuma tinggal Tante Yanti berdua Ganis, anaknya yang baru berusia 3 tahun, dia meneleponku untuk meminta tolong membetulkan kran kamar mandinya. Tentu saja kupenuhi karena aku baginya sudah dianggap seperti keluarga di rumahnya dengan sendirinya cepat saja kupenuhi permintaan itu. Aku datang dengan segera tapi kran rusak ternyata hanya alasan saja melainkan diminta untuk menemani sambil membantu memijiti kakinya yang katanya sedang kram. Di ruang tengah Tante waktu itu duduk di sofa panjang sedang menunggui Ganis yang sedang bermain-main di atas karpet di depannya.
“Abis kalo nggak pake alesan keran nanti nggak enak didengar keluargamu. Sini Don, Dony bisa bantuin mijetin kaki Tante, nggak? Tante suka rasa keram di kaki.” begitu katanya menyambutku dan langsung meminta bantuanku.
Aku mengangguk dan mendekat berlutut di depannya akan mulai memijit sebelah kakinya di bagian bawah tapi rupanya bukan di situ.
“Oo bukan di situ Don..Di sini, di selangkangan ini. Nggak apa ya Tante begini, nggak usah kikuk, Dony kan udah kayak anak Tante sendiri.” katanya sambil menyingkap roknya ke atas menunjukkan daerah yang harus kupijit yaitu di selangkangan pahanya.
Tidak tanggung-tanggung, rok itu disingkap sampai di atas celana dalamnya sehingga mau tak mau terpandang juga gundukan vaginanya menerawang dari balik kain tipis celana dalamnya itu. Tentu saja, biarpun sudah dipesan lebih dulu agar aku tidak usah kikuk-kikuk, tidak urung mukaku langsung berubah merah malu dengan pemandangan yang seronok ini. Tante seperti tidak mengerti apa yang kurasakan, dia menyuruh aku mendekat masuk di tengah selangkangannya dan mengambil kedua tanganku, meletakan di masing-masing paha atasnya persis di tepi gundukan bukit vaginanya. Dia minta bagian yang katanya sering pegal itu kutekan pelan-pelan dan waktu kumulai agak bergetaran juga tanganku mengerjainya sementara Tante Yanti memejamkan matanya pura-pura menikmati pijitanku. Padahal sungguh, aku sama sekali tidak tahu bahwa aku sedang diperangkap olehnya.
“Iya di situ sering pegel Don, tapi ntar dulu.. kurang pas yang itu, Tante naikin kaki dulu..”Berikutnya dengan alasan kurang puas Tante menaikan kedua telapaknya ke atas tepi sofa di mana dia sekarang minta aku memijit lebih ke dalam lagi sehingga boleh dibilang aku hanya memijit-mijit otot seputar kemaluannya saja. Pikiranku mulai terganggu karena bagaimanapun meremas-remas tepi bukit yang sedang terkangkang menganga ini mau tidak mau membuat nafasku memburu juga. Maklum, meskipun masih remaja tapi aku sudah kenal tidur dengan perempuan sehingga jelas mengenal rasa yang bisa diberikan bukit menggembung di depanku. Apalagi dalam pemandangan yang merangsang seperti ini.
Nah, di tengah-tengah kecamuk lamunan seperti ini Tante semakin jauh menggodaku.
“Ngomong-ngomong Dony udah pergi maen cewek, belum?”
“Ngg.. maen cewek maksud Tante pacar-pacaran?” kataku balik bertanya pura-pura tidak mengerti.
“Maksudnya tidur sama cewek, ngerasain ininya,” katanya sambil menunjuk vaginanya.
Ditanya begini wajahku merah lagi, jadi gugup aku menjawab, “Ngmm.. belum pernah Tan..” jawabku berbohong.
Mungkin aku salah menjawab begini karena kesempatan ini justru dipakai tante makin menggodaku.
“Ah masak sih, coba Tante pegang dulu..” begitu selesai bicara dia sudah menarikku lebih dekat lagi dengan menjulurkan kedua tangannya, satu dipakai untuk menggantol di leherku menahan tubuhnya tegak dari sandaran sofa, satu lagi dipakai untuk meraba jendulan penisku.
“Tante pengen tau kalo bangunnya cepet berarti betul belum pernah.” lanjutnya lagi.
Entah artinya yang sengaja dibolak-balik atau memang ini bagian dari kelihaiannya membujukku, namanya aku masih berdarah muda biarpun sudah terbiasa menghadapi perempuan tapi dirangsang dalam suasana begini tentu saja cepat batangku naik mengeras. Kalau sudah sampai di sini sudah lebih gampang lagi buat dia.
“Wihh, memang cepet bener bangunnya.. Tapi coba Don, Tante kok jadi penasaran kayaknya ada yang aneh punyamu..” katanya tanpa menunggu persetujuanku dia sudah langsung bekerja membuka celanaku membebaskan penisku. Aku sulit menolak karena kupikir dia betul-betul sekedar penasaran ingin melihat keluarbiasaan penisku. Memang, waktu batangku terbuka bebas matanya setengah heran setengah kagum melihat ukuran penisku.
“Buukan maen Donyy.. keras banget punyamu..” katanya memuji kagum tapi justru melihat yang begini makin memburu niatnya ingin cepat menjeratku, “Tapi masak sih yang begini belum pernah dipake ke cewek. Kalo gitu sini Tante kenalin rasa sedikit, deket lagi biar bisa Tante tempelin di sini.” lanjutnya, lagi-lagi tanpa menunggu komentarku dia memegang batangku dan menarikku lebih merapat kepadanya. Apa yang dimaksudkannya adalah dengan sebelah tangan bekerja cepat sekedar menyingkap sebelah kaki celana dalamnya membebaskan vaginanya, lalu sebelah lagi membawa penisku menempelkan kepala batangku di mulut lubang vaginanya. Di situ digosok-gosokannya ujung penisku di celah liangnya beberapa saat dulu baru kemudian menguji perasaanku.
“Gimana, enak nggak digosok-gosokin gini?”
Tentu, jangan bilang lagi kalau sudah begini aku yang sudah tegang dengan sinar mata redup sudah sulit untuk melepaskan diri, berat rasanya menolak kesempatan seperti ini. Aku cuma mengiyakan dengan mengangguk dan Tante Yanti meningkat lebih jauh lagi.
“Kalo gitu Dony yang bikin biar bisa rasa-rasain sendiri, tapi tunggu Tante buka aja sekalian supaya nggak ngalangin.” lanjutnya dengan cepat melepas celana dalamnya untuk kemudian kembali lagi pada posisi mengangkangnya.
Menggosok-gosokan sendiri ujung kepala penisku di mulut lubang vaginanya yang menganga tambah membuatku semakin tegang dalam nafsu, tapi untuk menyesapkan masuk ke dalam aku masih tidak berani sebelum mendapat ijinnya. Padahal itu justru yang diinginkan tante hanya saja mengira aku benar-benar masih hijau dia masih memakai siasat halus untuk menyeretku masuk.
“Ahh.. kedaleman gosokinnya..” katanya menjerit geli memaksudkan aku agak terlalu menusuk. Padahal rasanya aku masih mengikuti sesuai anjurannya, tapi ini memang akal dia untuk masuk di siasat berikut, “Tapi gini, supaya nggak keset sini Tante basahin dulu punyamu.” katanya mengajak aku bangun berdiri.
Kali ini apa yang dimaksudkannya adalah dia langsung mengambil penisku dan mulai menjilati seputar batangku, sambil sesekali mengulum kepalanya. Kalau sudah sampai di sini rasanya aku bisa menebak ke mana kelanjutannya. Dan memang, ketika dirasanya batangku sudah cukup basah licin dia pun menarik lagi tubuhku berlutut dan kembali memasang vaginanya siap untuk kumasuki. Dalam keadaan seperti itu aku betul-betul sudah buntu pikiranku, terlupa bahwa dia adalah Bibi dari teman baikku. Rangsangan nafsu sudah menuntut kelelakianku untuk tersalurkan lewat dia.
Sehingga sekalipun Tante Yanti tidak lagi menyuruh dengan kata-katanya, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Ujung penis mulai kusesapkan di lubang vaginanya segera kuikuti dengan gerakan membor untuk menusuk lebih dalam. Tante sendiri meskipun mimik mukanya agak tegang, dia ikut membantu dengan jari-jari tangannya lebih menguakkan bibir vaginanya menjadi semakin menganga, untuk lebih memudahkan usaha masuk batangku. Tapi baru saja terjepit setengah, tiba-tiba Ganis datang mengganggu konsentrasi teristimewa bagi Tante Yanti. Si kecil yang belum mengerti apa-apa ini naik ke sofa langsung menunggangi perut Tante seolah-olah ingin ikut bergabung dengan kami.
“Nanti dulu Dek, Mama lagi mau di cuntik Mas Dony.. Adek maen dulu sana, ya?” agak kerepotan Tante membujuk Ganis untuk menyingkir dan kembali bermain, sementara aku sendiri tetap sibuk membor dan menggesek keluar masuk penisku untuk menanam sisa batang yang masih belum masuk.Di atas dia repot meredam kelincahan Ganis, sedang di bawah dia juga repot menyambut batangku. Sesekali merintih memintaku jangan terlalu kuat menyodokkan penisku.
“Aashh Maas.. pelan Mas.. cakit Mama Adek dicuntik keras-kerass..”
Untung berhasil Tante Yanti membujuk Ganis tepat pada saat seluruh batangku habis terbenam. Lega wajahnya ketika Ganis sudah mau turun kembali bermain.
“Naa, sekarang Mama Adek mau maen sama Mas Dony dulu, ya? Ayo Mas pindah ke bawah dulu, Mama Adek juga pengen ikutan ngerasain enaknya.” Tanpa melepas kemaluan masing-masing kami pun berpindah ke karpet, Tante Yanti yang di bagian bawah. Di situ begitu posisi terasa pas kami segera menikmati asyik gelut kedua kemaluan denganku memompa dan Tante Yanti mengocok vaginanya. Nikmat sanggama mulai meresap dan meskipun di tengah-tengah asyik itu Ganis juga sering datang mengganggu, tapi kami sudah tidak peduli karena masing-masing sedang berpacu menuju puncak kepuasan. Dan ini ternyata bisa tercapai secara bersamaan. Agak terganggu dengan adanya Ganis lagipula suasana kurang begitu bebas, tapi toh cukup memuaskan akhir permainan itu bagi kami berdua. Kelanjutan hubungan kami memang sulit mencari kesempatan yang lowong seperti itu lagi. Setelah yang pertama ini masih sempat dua kali kami melakukan hubungan badan tapi kemudian terputus.
Ada satu keasyikan tersendiri yang kurasakan jika sedang bercinta dengan Tante Yanti yang bertubuh montok ini. Enak rasanya bergelut dengan daging tebalnya, seperti menari-nari di atas kasur empuk berbantalkan susunya yang juga montok dan besar itu. Rasanya dalam sejarah percintaanku dengan para wanita yang kesemuanya cantik-cantik lagi berlekak-lekuk padat menggiurkan, maka cuma dengan dia satu-satunya yang berbeda. Tapi, inilah yang kusebut asyik tadi. Aku sama sekali tidak merasa menyesal dan justru selalu merindukan untuk mengulang kenangan bersama dia, hanya saja kesempatan sudah sulit sekali untuk didapat.
Kesempatan kali keempat kudapat tiga tahun setelah itu yaitu ketika aku diminta mengantar Tante Yanti untuk menghadiri upacara perkawinan seorang keluarga mereka di Semarang. Waktu itu rencananya aku hanya mengantar saja dan setelah acara selesai akan pulang langsung ke Bandung ke tempat kuliahku, tapi rupanya Tante Yanti berubah pikiran ingin pulang menumpang lagi denganku. Mau tak mau aku pun berputar melewati Jakarta untuk mengantarkan Tante Yanti ke rumahnya dulu sebelum ke Bandung. Tante memang rupanya tidak ingin berlama-lama dalam kunjungannya, itu sebabnya Ganis tidak diajak serta dan ditinggal bersama pembantu serta suaminya di rumah.
Begitu, dalam perjalanan yang cuma kami berdua di mobil kami pun ngobrol dengan akrab, dengan Tante Yanti yang lebih banyak bertanya-tanya tentang keadaanku sementara aku sendiri sibuk mengemudi. Sampai kemudian menyinggung tentang kegiatan seksku, Tante Yanti memang bisa menduga bahwa aku tentu sudah banyak pengalaman galang-gulung dengan perempuan.
“Ngomong-ngomong soal kita dulu kalo sekarang Dony udah kenal banyak cewek cakep pasti kamu nyesel kenapa bikin gitu sama Tante waktu hari itu, ya nggak Don?”
“Nyesel sih enggak Tan, gimanapun kan Tante yang pertama kali ngenalin rasa sama Dony. Apalagi Dony juga punya kenangan manis dari Tante.” jawabku menyinggung hubungan intimku waktu itu dengannya.
“Tapi itu kan duluu.. Sekarang dibanding-bandingin sama kenalan-kenalanmu yang lebih muda pasti kamu mikir-mikir lagi, kok mau-maunya aku sama Tante model gitu. Itupun waktu dulu, sekarang apalagi.. tambah nggak nafsu liatnya, ya nggak?”
Aku langsung menoleh dengan tidak enak hati.
“Jangan bilang gitu Tan, Dony nggak pernah nyesel soal yang dulu. Malah kalo masih boleh dikasih sih sekarang pun Dony juga masih mau kok.”
“Jangan menghibur, ngeliat apanya sama Tante kok berani bilang gitu?”
“Lho kenyataan dong.. Tante emang sekarang gemukan tapi manisnya nggak kurang. Malah tambah ngerangsang deh.” jawabku memuji apa adanya. Karena memang, sekalipun dia sekarang terlihat lebih gemuk dibanding dulu tapi wajahnya masih tetap terlihat manis.
“Ngerangsang apanya Don?”
“Ya ngerangsang pengen dikasih kayak dulu lagi. Soalnya tambah montok kan tambah enak rasanya.” jawabku dengan membuktikan langsung meraba-raba buah dadanya yang besar itu, Tante Yanti langsung menggelinjang kegelian.
“Aaa.. kamu emang pinter ngerayu, bikin orang jadi ngira beneran aja.” katanya mencandaiku.
“Lho Dony serius kok, kalo masih kepengen ngulang sama Tante. Makanya tadi Dony nanya, kalo emang masih boleh dikasih sekarang juga Dony belokin nyari hotel, nih?”
Lagi-lagi dia tertawa geli mendengar candaku.
“Yang bilang nggak boleh siapa. Tapi dikasiHPun kamu pasti nggak selera lagi, kan percuma.”
“Ya udah, kalo nggak percaya.. Tapi ngomong-ngomong sebentar lagi udah gelap, Dony lupa kalo lampu mobil kemaren mati sebelah belum sempat diganti. Gimana kalo kita nyari hotel aja Tan, besok baru terusin lagi.” kataku mengajukan usul karena kebetulan memang lampu mobilku padam sebelah. Sebetulnya ada cadangan tapi ini kupakai alasan untuk mengajaknya menginap.
“Duh kamu kok sembrono sih Don.. Ayo cari penginepan aja kalo gitu, dipaksa nerusin nanti malah bahaya di jalan.”
Kupercepat laju mobilku sebelum gelap dan di kota terdekat aku pun mencari sebuah hotel. Begitu dapat aku langsung turun memesan sebuah kamar sementara Tante menunggu di mobil. Dan setelah kembali ke mobil untuk mengajak Tante turun sempat kubuktikan dulu padanya tentang lampu mobil sebelahku yang memang padam itu.
Berdua masuk ke kamar, setelah mandi dan makan malam kamipun bersantai dengan ngobrol sampai kemudian Tante mengajakku untuk pergi tidur. Kamar yang kupesan memang hanya satu tapi dilengkapi dua tempat tidur sebagaimana biasanya bentuk kamar hotel. Melihat dari keadaan ini Tante Yanti tidak mengira bahwa aku betul-betul serius dengan keinginanku untuk mengulang lagi kenangan lama. Dia baru saja mengganti baju tidur dan baru akan mulai mengancingnya ketika aku keluar dari kencing di kamar mandi langsung mendekat memeluknya dari belakang. Aku sendiri hanya mengenakan handuk berlilit pinggang setelah membuka bajuku di kamar mandi.
“Gimana Tan, masih boleh dikasih Dony nggak..” bisikku meminta di telinganya tapi sambil mengecup leher bawah telinganya diikuti kedua tanganku mulai meremasi masing-masing susunya.Tersenyum geli dia karena sudah sampai di situ pun dia masih mengira aku cuma bercanda menggoda.
“Apanya yang enak sih sama orang yang udah gembrot gini, Don.”
“Buat Dony sih tetap enak, malah Dony kangen deh Tan..”
Sambil bicara begitu kubuka lagi satu kancing daster tidurnya yang baru terpasang, sehingga bagian depan tubuhnya terbuka berikut kedua susunya yang bebas karena Tante sengaja tidur tanpa memakai kutang, untuk kemudian tanganku berlanjut meremasi susu telanjangnya itu. Tante membiarkan saja tapi dia bertanya mengujiku dengan nada setengah ragu kepadaku.
“Masak sih kangen sama Tante? Kan kamu biasanya sama cewek-cewek cakep, yang masih muda lagi langsing-langsing badannya..?”
“Justru melulu sama yang begitu Dony malah sekali-sekali kepengen yang laen biar ada variasinya. Jadinya keinget sama Tante bikin Dony kangen sama montoknya..”
“Kamu bisa aja..”
“Lho bener Tan. Montoknya Tante ini yang bikin enak, mantep rasanya. Apalagi yang ini.. hmm.. sekarang tambah montok berarti tambah enak lagi rasanya..” kali ini sebelah tanganku sudah kujulurkan ke bawah meremas-remas gemas gundukan vaginanya.
Tante Yanti merengek senang, sekarang baru dia percaya dengan keseriusanku. Apalagi ketika dia juga membalas menjulurkan tangannya ke belakang, di situ dia mendapatkan bahwa di balik handuk itu aku sudah tidak mengenakan celana dalam lagi. Tanpa diminta lagi dia sendiri membuka lagi daster tidur sekaligus juga celana dalamnya sendiri untuk bersama-sama telanjang bulat naik ke tempat tidur.
Wanita berwajah manis diusianya mencapai 33 tahun ini memang sudah mekar tubuhnya, tapi bukan gembrot kedodoran dengan lipatan-lipatan kulit berminyak, melainkan masih cukup kencang lagi cukup mulus sehingga montoknya berkesan sexy yang punya daya tarik tersendiri. Dan aku juga jujur mengatakan bahwa aku merindukan kemontokannya, karena baru saja melihat dia terbuka sudah langsung terangsang gairah kelelakianku. Sebab dia belum lagi merebah penuh, masih duduk di tengah pembaringan untuk mengurai gelung rambutnya, sudah kuburu tidak sabaran lagi. Kusosor sebelah susunya, sebelah lagi kuremas-remas gemas, dengan rakus mulutku mengenyot-ngenyot bagian puncaknya, mengisap, mengulum dan menggigit-gigit putingnya.
“Ehngg.. gelli Doon.. Iya, iya, nanti Tante kasih..” merengek kegelian dia karena serangan mendadakku.
“Abis gemes sih Tan..” sahutku cepat dan kembali lagi menyerbu bagian dadanya.
Melihat begini Tante Yanti mengurungkan merebahkan badannya, untuk sementara bertahan dalam posisi duduk itu seperti tidak tega menunda ketidaksabaranku. Air mukanya berseri-seri senang, sebelah tangannya membelai-belai sayang kepalaku dan sebelah lagi lurus ke belakang menopang duduknya, ditungguinya aku melampiaskan rinduku masih pada kedua susunya yang montok dan besar itu.
Seperti anak kecil yang asyik sendiri bermain dengan balonnya, begitu juga aku sibuk mengerjai bergantian kedua daging bulat gemuk itu untuk memuaskan lewat rasa mulut dan remasan gemasku. Sampai berkecapan suara mulut rakusku dan sampai meleyot-leyot terpencet, terangkat-angkat dan jatuh terayun-ayun, membuat Tante Yanti kadang meringis merintih atau merengek mengerang saking kelewat gemas bernafsu aku dengan keasykanku, tapi begitupun dia tidak mencegah kesibukanku itu. Baru setelah dirasanya aku mereda, diapun bersiap-siap untuk memberikan tuntutan kerinduanku yang berikutnya.
Ini karena dilihatnya aku sudah cukup puas bermain di atas dan sudah ingin berlanjut ke bawah, yaitu sementara mulutku masih tetap sibuk tapi tangan yang sebelah mulai kujulurkan meraba selangkangannya, segera Tante Yanti pun merubah posisi untuk memberi keleluasaan bagiku. Tubuhnya direbahkan ke belakang sambil meluruskan kedua kakinya yang duduk terlipat menjepit selangkangannya, langsung dibukanya sekali agar aku bisa mencapai vaginanya. Mulutku masih terus mengejar menempel di sebelah susunya tapi tanganku sekarang sudah bisa memegang penuh bukit vaginanya. Bukit daging tebal setangkup tanganku yang ditumbuhi bulu-bulu keriting halus ini langsung kuremas-remas gemas, darah kelelakianku pun tambah mengalir deras.
Keasyikan yang baru menarik perhatian baru juga, berpindah dulu aku ke tengah selangkangannya yang kudesak agar lebih mengangkang sebelum kutarik kepalaku dari susunya. Tante mengira aku sudah akan mulai memasukinya, dia sempat menyambar batangku yang sudah tegang dan melocok-locok dengan tangannya sebentar. Seperti ingin lebih mengencangkan lagi tapi ada terasa bahwa dia juga merindukan batangku, bisa terbaca dari remasan gemasnya yang menarik-narik penisku. Begitu posisiku terasa pas, aku pun memindahkan mulutku turun menggeser ke bawah dengan cara menciumi lewat perutnya sampai kemudian tiba di atas vaginanya yang terkangkang. Di sini konsentrasiku terpusat dengan mengusap-usap dan memperhatikan dulu bentuk vaginanya. Ini untuk pertama kali aku mendapat kesempatan melihat jelas kemaluannya yang sudah pernah tiga kali kumasuki, tapi karena waktunya sempit tidak sempat kulihat dengan nyata.
Betul-betul suatu pemandangan yang merangsang sekali. Bukit segitiga yang menjendul dengan dagingnya yang tebal itu ditumbuhi bulu-bulu yang tidak begitu lebat, tidak cukup menutupi bagian celah lubang yang diapit pipi kanan kirinya. Tepi bukit itu persis seperti pipi bayi yang montok menggembung, saking tebalnya sehingga menjepit bibir vagina hanya terkuak sedikit meskipun pahanya sudah kukangkangkan lebar-lebar. Penasaran kukuakkan bibir vaginanya dengan jari-jariku untuk melihat lebih ke dalam, tapi belum lagi jelas, Tante Yanti sudah menegurku dengan muka malu-malu merengek geli.
“Ahahngg.. Dony mau ngeliat apa di dalem situ?” Aku tidak menyahut tapi sebelum dia berubah pikiran untuk mencegahku, langsung saja kusosorkan mulutku ke tengah lubang yang baru kukuakkan itu. “Ssshh Donyy..!” Betul juga. Tante menjerit malu, tangannya refleks ingin menolak kepalaku tapi sudah terlambat. Sebab begitu menempel sudah cepat kusambung dengan menjilat dan menyedot-nyedot tengah lubangnya. Adu ngotot berlangsung hanya sesaat karena Tante kemudian menyerah, menganga dengan wajah tegang dia ketika geli-geli enak permainan mulutku mulai menyengat dia.
Untuk berikutnya aku sendiri mulai meresap enaknya mengisap vagina montok yang baru pertama kudapat darinya. Lagi-lagi ada keasyikkan tersendiri, karena tidak seperti dengan milik wanita-wanita lain yang pernah kulakukan seperti ini, umumnya celah lubang mereka terasa kecil karena tepi kanan kirinya tidak setebal ini. Milik Tante Yanti justru penampilannya kelihatan sempit tapi kalau dikuakan malah jadi merekah lebar dan dalam. Disosor mulutku yang mengisap rakus, seperti hampir tenggelam wajahku di situ dengan pipiku bertemu pipi vaginanya.
Di bagian inipun untuk beberapa lama kupuaskan diriku dengan menyedot menjilat-jilat tengah lubangnya, sesekali menyodok-nyodokkan ujung lidah kaku lebih ke dalam, membuatnya mengejang sampai membusung dadanya. Atau juga menggigit-gigit klitoris, menarik-nariknya serta menjilati cepat membuatnya menggelinjang kegelian. Serupa dengan puting susunya, bagian inipun sudah mengeras tanda dia sudah terangsang naik berahinya, tapi Tante Yanti juga tetap membiarkan aku bermain sepuas-puasnya untuk melampiaskan rinduku. Ketika kurasa sudah cukup lama aku mengecap asyik lewat mulutku dan sudah cukup matang dia kubawa terangsang, barulah aku mulai memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Di sini baru giliran Tante untuk ikut melampiaskan rindunya kepadaku terasa dari sambutannya yang hangat.
Seperti pengalaman yang kuingat, Tante Yanti bukan type histeris dengan gaya merintih-rintih dan menggeliat-geliat erotis, tapi dalam keadaan saat ini tidak urung meluap juga gejolak rindunya lewat caranya tersendiri kepadaku. Yaitu seiring putaran vagina laparnya menyambut masuknya penisku, tubuhku pun ditarik menindihnya langsung didekapnya erat mengajakku berciuman. Yang ini juga sama hangatnya karena begitu menempel langsung dilumat sepenuh nafsunya. Berikutnya kami yang sama saling merindukan seolah tidak ingin melepaskan dekapan menyatu ini. Seluruh permukaan tubuh depan melekat erat dengan bagian atas kedua bibir saling melumat ketat sedang bagian bawah kedua kemaluan pun bergelut hangat. Aku yang memainkan penisku memompa keluar masuk diimbangi vaginanya yang diputar mengocok-ngocok. Ini baru namanya bersetubuh atau menyatukan tubuh kami, karena hampir sepanjang permainan kami melekat seperti itu. Hanya sekali kami menunda sebentar untuk menarik nafas dan kesempatan ini kupakai dengan mengangkat tubuhku dan melihat bagaimana bentuk wanita montok dalam keadaan sedang kusetubuhi ini. Ternyata suatu pemandangan yang mengasyikkan sekaligus makin melonjakkan gairah kejantananku. Di bawah kulihat vaginanya diputar bernafsu, seolah kesenangan mendapat tandingan yang cocok dengannya.
Memperhatikan vagina di bawah itu bagaikan mulut bayi berpipi montok yang kehausan menyedot-nyedot botol susunya sudah menambah rangsangan tersendiri, apalagi melihat keseluruhan goyangan tubuh Tante Yanti. Seluruh daging tubuhnya ikut bergerak teristimewa kedua susunya yang berputaran berayun-ayun tambah menaikkan lagi rangsang kejantananku, sampai aku tidak tahan dan kembali turun menghimpit dia karena sudah terasa akan tiba di saat ejakulasiku. Pada saat yang sama Tante Yanti juga sudah merasa akan tiba di orgasmenya, dia yang mengajak lebih dulu dengan menyambung lumatan bibir tadi untuk menyalurkannya dalam permainan ketat seperti ini. “Hghh ayyo Doon.. Nnghoog.. hrrhg..” dengan satu erang tenggorokkan dia membuka orgasmenya disusul olehku hanya selang beberapa detik kemudian.
Kami sama mengejang dan sempat menunda sebentar ketika masuk di puncak permainan, tapi segera berlanjut lagi melumat dengan lebih ketat seolah saling menggigit bibir selama masa orgasme itu. Baru setelah mereda dan berhenti, yang tinggal hanya nafas turun naik kelelahan dan tubuh terasa lemas. Cukup luar biasa, karena meskipun tidak berganti posisi atau gaya tapi permainan terasa nikmat dengan akhir yang memuaskan. Malah seluruh tubuh sudah terasa banjir keringat saking serunya berkonsentrasi dalam melampiaskan kerinduan lama kami. Untuk itu aku begitu melepaskan diri hanya duduk di sebelahnya agar keringat di punggungku tidak membasahi sprei tempat tidur.
“Gimana Don rasanya barusan..?” Tante Yanti mengujiku sambil tangannya mengusap menyeka-nyeka keringat di punggungku. Aku berputar menghadap dia.
“Makanya Dony tadi ngotot minta, soalnya udah yakin duluan memek montok Tante ini bakal ngasih enak..” jawabku dengan meremas mencubit-cubit vaginanya.
“Udah enak, puas lagi.. Tapi Tante sendiri, gimana rasanya sama Dony?” balik aku bertanya padanya.
Mendapat pujianku air mukanya bersinar senang, ganti dia memujiku.
“Sama kamu sih nggak usah ditanya lagi, Don. Dulu aja kalau nggak sayangin kamu masih muda sekali, udah mau terus-terusan Tante ngajakin kamu.”
“Oya? Kok tadi diajak masih kayak ogah-ogahan?”
“Bukan ogah-ogahan, tapi takut ketagihan sama Dony..” jawabnya bercanda sambil tertawa. Aku jadi tertawa geli. Itulah hubungan ke empat kalinya dengan Tante Yanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar